Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal atau Satgas
115 sedang menyusun kriteria usaha perikanan tangkap yang bakal
diwajibkan memiliki sertifikat hak asasi manusia.
Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan No. 35/2015 tentang Sistem dan
Sertifikasi HAM pada Usaha Perikanan telah mengatur ketentuan tersebut.
Namun, sampai saat ini belum ada pengaturan teknis sehingga sertifikasi
hak asasi manusia (HAM) belum berjalan.
Ketua Staf Ahli Komandan
Satgas 115 Mas Achmad Santosa mengakui sertifikasi HAM menyebabkan beban
operasional pelaku usaha ber tambah. Karena itu, pemerintah akan
memilah kriteria usaha yang dinilai sanggup menjalankan aturan tersebut.
“Tidak
mungkin perusahaan kecil dan nelayan terkena aturan. Kami tengah
menyusun detail seperti skala usaha, jumlah karyawan. Ini nanti diatur
dalam permen mengenai mekanisme sertifikasi yang selesai 10 Desember
2016,” katanya dalam acara Asean Workshop on Forced Labour in Fi shing
Industry, Senin (15/8/2016).
Permen 35/2015 sebagai ketentuan umum pengaturan HAM di bidang perikanan yang memuat tiga ketentuan pokok. Pertama, standar HAM yang mengacu pada prinsip United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights. Kedua, uji tuntas kepada pelaku usaha agar memenuhi standar HAM. Ketiga, pemulihan HAM atau reparasi para korban dari pelanggaran HAM.
Achmad
menilai sertifikasi HAM penting untuk melindungi anak buah kapal (ABK)
di bidang perikanan tangkap. Perlindungan itu meliputi hak mendapatkan
standar kesejahteraan, jaminan sosial, dan larangan intimidasi serta
kerja paksa.
Sertifikat HAM akan diterbitkan oleh lembaga penilai
yang dibentuk Kementerian Kelautan dan Perikanan. Lembaga itu
beranggotakan para pemangku kepentingan terkait seperti Komnas HAM,
lembaga swadaya masyarakat, dan ahli.
Tanpa sertifikat HAM,
pebisnis tidak dapat memperoleh izin-izin usaha seperti surat izin
penangkapan ikan. Menanggapi rencana itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi
Tuna Long-line Indonesia (ATLI) Dwi Agus Sis-wa Putra menilai sampai
saat ini belum ada kasus pelanggaran HAM skala berat yang dilakukan oleh
pengusaha dalam negeri.
Bahkan, menurut dia, perselisihan terkait
gaji dan kesejahteraan pun tidak menonjol. “Sejak saya mengenal usaha
perikanan tangkap tidak pernah ada masalah. Ini bisa dilihat dari
keinginan orang untuk menjadi ABK sangat banyak. Justru mereka rata-rata
jarang mau digaji, kebanyakan minta bagi hasil,” katanya kepada Bisnis.
Dwi
berharap agar sertifikasi HAM dapat memperbaiki iklim usaha perikanan
Indonesia. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengajak
negara-negara Asean untuk sama-sama memberlakukan sertifikasi HAM
seperti halnya Indonesia.
Susi mengatakan negara-negara Asean
meliputi Indonesia, Myanmar, Vietnam, Filipina, Thailand, dan Malaysia
berkontribusi 20,7% dari total produksi perikanan tangkap dunia.
Namun,
bisnis perikanan di kawasan ini kerap disertai eksploitasi pekerja
secara berlebihan. “Kami meminta ada peraturan serupa di negara lain.
Langkah ini harus menjadi kehendak politik di Asean.”
Chief of
Mission International Organization for Migration (IOM) Mark Getchell
Indonesia mengapresiasi langkah Indonesia menerapkan sertifikasi HAM.
Bahkan, dia mengamati komitmen pemerintah telah dimulai sejak
pengungkapan kasus penyiksaan 1.000 pekerja asing di Benjina, Maluku
pada awal 2015.
http://koran.bisnis.com/read/20160816/452/575550/perusahaan-wajib-punya-sertifikat-ham
Tidak ada komentar:
Posting Komentar