Minggu, 21 Agustus 2016

Perusahaan Wajib Punya Sertifikat HAM

Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal atau Satgas 115 sedang menyusun kriteria usaha perikanan tangkap yang bakal diwajibkan memiliki sertifikat hak asasi manusia.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 35/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi HAM pada Usaha Perikanan telah mengatur ketentuan tersebut. Namun, sampai saat ini belum ada pengaturan teknis sehingga sertifikasi hak asasi manusia (HAM) belum berjalan.

Ketua Staf Ahli Komandan Satgas 115 Mas Achmad Santosa mengakui sertifikasi HAM menyebabkan beban operasional pelaku usaha ber tambah. Karena itu, pemerintah akan memilah kriteria usaha yang dinilai sanggup menjalankan aturan tersebut.

“Tidak mungkin perusahaan kecil dan nelayan terkena aturan. Kami tengah menyusun detail seperti skala usaha, jumlah karyawan. Ini nanti diatur dalam permen mengenai mekanisme sertifikasi yang selesai 10 Desember 2016,” katanya dalam acara Asean Workshop on Forced Labour in Fi shing Industry, Senin (15/8/2016).

Permen 35/2015 sebagai ketentuan umum pengaturan HAM di bidang perikanan yang memuat tiga ketentuan pokok. Pertama, standar HAM yang mengacu pada prinsip United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights. Kedua, uji tuntas kepada pelaku usaha agar memenuhi standar HAM. Ketiga, pemulihan HAM atau reparasi para korban dari pelanggaran HAM.

Achmad menilai sertifikasi HAM penting untuk melindungi anak buah kapal (ABK) di bidang perikanan tangkap. Perlindungan itu meliputi hak mendapatkan standar kesejahteraan, jaminan sosial, dan larangan intimidasi serta kerja paksa.

Sertifikat HAM akan diterbitkan oleh lembaga penilai yang dibentuk Kementerian Kelautan dan Perikanan. Lembaga itu beranggotakan para pemangku kepentingan terkait seperti Komnas HAM, lembaga swadaya masyarakat, dan ahli.

Tanpa sertifikat HAM, pebisnis tidak dapat memperoleh izin-izin usaha seperti surat izin penangkapan ikan. Menanggapi rencana itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Long-line Indonesia (ATLI) Dwi Agus Sis-wa Putra menilai sampai saat ini belum ada kasus pelanggaran HAM skala berat yang dilakukan oleh pengusaha dalam negeri.

Bahkan, menurut dia, perselisihan terkait gaji dan kesejahteraan pun tidak menonjol. “Sejak saya mengenal usaha perikanan tangkap tidak pernah ada masalah. Ini bisa dilihat dari keinginan orang untuk menjadi ABK sangat banyak. Justru mereka rata-rata jarang mau digaji, kebanyakan minta bagi hasil,” katanya kepada Bisnis.

Dwi berharap agar sertifikasi HAM dapat memperbaiki iklim usaha perikanan Indonesia. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengajak negara-negara Asean untuk sama-sama memberlakukan sertifikasi HAM seperti halnya Indonesia.

Susi mengatakan negara-negara Asean meliputi Indonesia, Myanmar, Vietnam, Filipina, Thailand, dan Malaysia berkontribusi 20,7% dari total produksi perikanan tangkap dunia.

Namun, bisnis perikanan di kawasan ini kerap disertai eksploitasi pekerja secara berlebihan. “Kami meminta ada peraturan serupa di negara lain. Langkah ini harus menjadi kehendak politik di Asean.”
Chief of Mission International Organization for Migration (IOM) Mark Getchell Indonesia mengapresiasi langkah Indonesia menerapkan sertifikasi HAM. Bahkan, dia mengamati komitmen pemerintah telah dimulai sejak pengungkapan kasus penyiksaan 1.000 pekerja asing di Benjina, Maluku pada awal 2015.

http://koran.bisnis.com/read/20160816/452/575550/perusahaan-wajib-punya-sertifikat-ham

Tidak ada komentar:

Posting Komentar