Regional CEO PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Wilayah Jawa Timur
Risang Widoyoko mendorong para pengembang di wilayah setempat untuk
memanfaatkan kemudahan izin yang diberikan pemerintah dalam paket
kebijakan jilid XIII.
Risang mengatakan, kebijakan tersebut jika
dimanfaatkan akan mendongkrak penyaluran kredit produktif. Terutama
untuk sektor properti dan konstruksi yang mengerjakan proyek perumahan
untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
"Pemerintah memberi
banyak kemudahan perizinan kepada pengembang seperti percepatan waktu
serta penggabungan perizinan, hal ini bisa menggairahkan pembiayaan
produktif," katanya, Senin 29 Agustus 2016.
Namun demikian, kata
Risang, BNI masih melihat kesiapan pengembang dalam memanfaatkan
kebijakan baru tersebut. "Karena, untuk masalah legalitas terus terang
pengembang kelas menengah ke bawah masih susah memenuhinya," katanya.
Risang mengatakan, pengembang kelas menengah ke bawah
terkadang enggan menitipkan sertifikat induk developer ke bank.
Alasannya, keberadaan dana yang minim dan pengembang menunda pengurusan
sertifikat tersebut hingga mendapatkan pemasukan dari pembeli properti.
Contoh lainnya, keberadaan site plan proyek yang harusnya menyatu
terkadang masih terpisah, sehingga pengerjaan proyek tidak sesuai dengan
site plan.
Oleh karena itu, Risang mengaku bank masih melihat
pengembang dalam pemanfaatkan program ini. Bank juga masih berhati-hati
dalam menyalurkan kredit jika ada pemisahan tersebut untuk mencegah ada
masalah di kemudian hari.
"Kalau pengembang besar mayoritas
berani keluar modal untuk pengurusan sertifikat dan pembebasan lahan
karena mengerti selera perbankan," tuturnya.
Risang menyebutkan,
beberapa izin yang bisa dihilangkan setelah paket kebijakan XIII keluar
dan membantu pengembang misalnya izin lokasi, rekomendasi peil banjir,
masterplan dan cut and fill (pemerataan tanah) dan amdal lalin (analisis
mengenai dampak lingkungan untuk lalu lintas).
Menurut dia,
masalah pengurusan izin sangat penting bagi perbankan. Kemudahan
pengurusan izin yang diberikan pemerintah memang bisa meningkatkan
gairah pengembang dalam membangun hunian untuk MBR. Dia menambahkan,
sebenarnya portofolio kredit untuk pengembang yang mengerjakan proyek
MBR tidak banyak. Jumlahnya, dia memperkirakan kurang dari 10 persen
dari total kredit produktif untuk pengembang.
"Sebab di Jatim kami tidak membiayai proyek FLPP (Fasilitas
Likuiditas Pembiayaan Perumahan), tapi tetap menyuplai kredit rumah
menengah ke bawah yang non FLPP," katanya.
Sementara berdasarkan
data BNI, di Surabaya rumah kelas menengah ke bawah yang dibiayai BNI
tercatat mulai harga Rp 300 jutaan. "BNI di Jatim tetap mendukung
program satu juta rumah, dengan catatan harga rumahnya tidak di kisaran
Rp 100 jutaan," jelasnya.
Dengan adanya kemudahan perizinan,
Risang yakin permintaan untuk segmen tersebut akan meningkat. Di sisi
lain, kredit konsumer untuk properti (KPR dan KPA) di segmen tersebut
juga tumbuh meskipun hanya 1 persen, dengan porsinya yang baru 10 persen
dari total kredit properti. Sedangkan kredit properti untuk segmen
menengah ke atas saat ini sudah tumbuhnya 6 persen per Juli (year on
year) dengan total kredit secara keseluruhan tumbuh 23 persen (yoy).
https://m.tempo.co/read/news/2016/08/30/087799975/bni-dorong-pengembang-jatim-manfaatkan-kemudahan-izin-pemerintah
Selasa, 20 September 2016
Sabtu, 03 September 2016
Target Retribusi IMB Meleset lagi Ditarget Rp 2,8 M Terkumpul Rp 1,27 M
Memasuki semester ketiga 2016, penerimaan restribusi Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) masih jauh dari target. Berdasarkan data Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu (BP2T) Kukar, hingga Juli 2016 retribusi IMB baru
mencapai Rp 1,27 M dari target Rp 2,8 M per tahun.
Kepala PB2T Kukar Akhmad Taufik Hidayat menerangkan, penerimaan retribusi IMB baru berkisar antara 45 persen. Akhmad mengakui, dari tahun ketahun peneriman retribusi IMB tidak pernah mencapai target karena jumlah pembangunan rumah dan gedung tidak bisa diprediksi per tahun.
Tahun lalu retribusi IMB ditarget Rp 2,75 M dan realisasinya hanya Rp 2,22 M. “Penetapan target IMB hanya berdasarkan kenaikan orang yang mengurus izin saja, namun kita optimistis empat bulan ke depan IMB melebih penerimaan tahun lalu," tuturnya.
Namun begitu, untuk izin gangguan atau hinder ordonantie (HO) saat ini telah melebih target yang ditetapkan. Hingga Juli 2016 retribusi HO telah mencapai Rp 465 juta dari target hanya Rp 400 juta per tahun atau mencapai 113 persen. Pada 2015 penerimaan retribusi Ho ditarget Rp 300 juta per tahun, sementara penerimaanya mencapai Rp 773 juta. “Tahun lalu retribusi HO Rp 473 juta di atas target yang ditetapkan," pungkasnya.
http://radarkaltim.prokal.co/read/news/3607-target-retribusi-imb-meleset-lagi.html
Gedung Tanpa SLF Dilarang Beroperasi
Peringatan keras bagi pemilik gedung bertingkat di Kota Malang yang
mengabaikan keamanan dan keselamatan. Pasalnya gedung bertingkat yang
tidak mengantongi sertifikat laik fungsi (SLF) akan dilarang beroperasi.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Pengawasan Bangunan (DPUPPB) Kota Malang Jarot Edi Sulistyono menyatakan, gedunggedungbertingkatdanberskala besar yang tidak mengantongi SLF akan dilarang beroperasi. “Gedung-gedung besar ini harus memiliki SLF demi keamanan dan kenyamanan penghuninya, kalau tidak ada SLF-nya secara otomatis tidak boleh beroperasi karena ini syarat mutlak yang wajib dipenuhi sesuai aturan yang berlaku,” kata Jarot, kemarin.
Menurut Jarot, untuk mendapatkan SLF tidaklah mudah karena harus melalui pengujian secara ketat dan selama ini hanya ada beberapa bangunan di Kota Malang yang mengantongi sertifikat tersebut. “Khusus SLF kami mengujinya secara ketat, seperti bagaimana jaringan listriknya, ketersediaan peralatan pemadaman saat terjadi kebakaran, termasuk kekuatan dan konstruksi bangunan secara menyeluruh,” katanya.
Ia mengemukakan selama ini banyak contoh kasus seperti terbakarnya gedung-gedung yang membuat penghuninya meninggal akibat terjebak di dalam bangunan, karena kurangnya infrastruktur dan keamanan di area bangunan tersebut. Dan, kondisi itu jangan sampai terjadi lagi, mengingat di Kota Malang saat ini banyak bangunan bertingkat dan berskala besar, seperti bangunan perhotelan, apartemen, pusat perbelanjaan, serta perkantoran yang dibangun menjulang tinggi.
“Untuk itu, kami tidak main-main dalam menangani SLF, sebab ini berkaitan dengan keamanan, kenyamanan dan keselamatan penghuninya maupun warga di sekitarnya,” paparnya. Menyinggung bangunan yang sudah berdiri lama dan belum teruji SLF-nya atau yang belum mengantongi SLF, Jarot menyarankanagarpara pemilik gedung tersebut segera melengkapi sejumlah kriteria yang selamainibelumdisiapkanagar bisa lolos uji SLF.
Akan tetapi, lanjutnya, bagi bangunan baru yang tidak lolos uji SLF, pihaknya akan melayangkan surat ke Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) agar tidak mengeluarkan izin operasionalnya sebelum memenuhi semua persyaratan dan lolos uji SLF.
“Kami memang harus memperketat uji SLF ini karena berkaitan dengan keamanan, kenyamanan dan keselamatan seluruh penghuni gedung maupun warga sekitar gedung,” ujarnya. Seperti diberitakan sebelumnya, di Kota Malang dari ratusan gedung baru 16 bangunan yang memiliki SLF.
Sedangkan yang masih proses pengurusan mencapai 150 gedung. Salah satu warga Malang Kota Iman Arbani menyebutkan, untuk menjaga keamanan dan kenyamanan ketika orang-orang datang memang gedung harus aman dan nyaman. “Saya setuju dengan gedung harus punya SLF.
Karena keselamatan itu yang paling penting,” katanya. Namun katanya, ketegasan pemerintah daerah harus benar- benar dibuktikan, jangan sekadar lips service saja. “Pemerintah kan biasanya begitu, angin-anginan. Kadang bikin kebijakan ikut-ikutan, atau meniru dari daerah lain,” tutupnya.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Pengawasan Bangunan (DPUPPB) Kota Malang Jarot Edi Sulistyono menyatakan, gedunggedungbertingkatdanberskala besar yang tidak mengantongi SLF akan dilarang beroperasi. “Gedung-gedung besar ini harus memiliki SLF demi keamanan dan kenyamanan penghuninya, kalau tidak ada SLF-nya secara otomatis tidak boleh beroperasi karena ini syarat mutlak yang wajib dipenuhi sesuai aturan yang berlaku,” kata Jarot, kemarin.
Menurut Jarot, untuk mendapatkan SLF tidaklah mudah karena harus melalui pengujian secara ketat dan selama ini hanya ada beberapa bangunan di Kota Malang yang mengantongi sertifikat tersebut. “Khusus SLF kami mengujinya secara ketat, seperti bagaimana jaringan listriknya, ketersediaan peralatan pemadaman saat terjadi kebakaran, termasuk kekuatan dan konstruksi bangunan secara menyeluruh,” katanya.
Ia mengemukakan selama ini banyak contoh kasus seperti terbakarnya gedung-gedung yang membuat penghuninya meninggal akibat terjebak di dalam bangunan, karena kurangnya infrastruktur dan keamanan di area bangunan tersebut. Dan, kondisi itu jangan sampai terjadi lagi, mengingat di Kota Malang saat ini banyak bangunan bertingkat dan berskala besar, seperti bangunan perhotelan, apartemen, pusat perbelanjaan, serta perkantoran yang dibangun menjulang tinggi.
“Untuk itu, kami tidak main-main dalam menangani SLF, sebab ini berkaitan dengan keamanan, kenyamanan dan keselamatan penghuninya maupun warga di sekitarnya,” paparnya. Menyinggung bangunan yang sudah berdiri lama dan belum teruji SLF-nya atau yang belum mengantongi SLF, Jarot menyarankanagarpara pemilik gedung tersebut segera melengkapi sejumlah kriteria yang selamainibelumdisiapkanagar bisa lolos uji SLF.
Akan tetapi, lanjutnya, bagi bangunan baru yang tidak lolos uji SLF, pihaknya akan melayangkan surat ke Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) agar tidak mengeluarkan izin operasionalnya sebelum memenuhi semua persyaratan dan lolos uji SLF.
“Kami memang harus memperketat uji SLF ini karena berkaitan dengan keamanan, kenyamanan dan keselamatan seluruh penghuni gedung maupun warga sekitar gedung,” ujarnya. Seperti diberitakan sebelumnya, di Kota Malang dari ratusan gedung baru 16 bangunan yang memiliki SLF.
Sedangkan yang masih proses pengurusan mencapai 150 gedung. Salah satu warga Malang Kota Iman Arbani menyebutkan, untuk menjaga keamanan dan kenyamanan ketika orang-orang datang memang gedung harus aman dan nyaman. “Saya setuju dengan gedung harus punya SLF.
Karena keselamatan itu yang paling penting,” katanya. Namun katanya, ketegasan pemerintah daerah harus benar- benar dibuktikan, jangan sekadar lips service saja. “Pemerintah kan biasanya begitu, angin-anginan. Kadang bikin kebijakan ikut-ikutan, atau meniru dari daerah lain,” tutupnya.
http://www.koran-sindo.com/news.php?r=4&n=8&date=2016-08-28
Langganan:
Postingan (Atom)